Yang Kaya Diampuni, Yang Menengah Dimiskinkan

Pengunjung melihat tas yang di jual di bazar post market, di Lippo Puri Indah,  Jakarta Barat,  Jumat (2/2/2018). Bazar yang berlangsung selama 1-4 februari ini menjual barang-barang merk ternama yang harganya mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah. Tak sedikit orang yang berkunjung ke lokasi tersebut, kebanyakan dari mereka yang datang kalangan kelas menengah atas dan kolektor tas tas mewah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Kabar tidak baik datang dari dalam negeri dalam isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atau SMI, memastikan tarif PPN naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.

Kebijakan ini diambil berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada Bab IV Pasal 7 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini tidak bijak untuk diterapkan saat masyarakat sedang susah payah membangun daya belinya.

Beban masyarakat terlalu berat saat ini di mana terjadi pelemahan daya beli masyarakat secara signifikan. Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y). Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Masyarakat juga mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut (Mei-September).

Dampak paling terasa dari kebijakan ini adalah kenaikan harga barang yang signifikan. Berdasarkan perhitungan sederhana, kenaikan tarif PPN sebesar 1
persen saja dapat memicu lonjakan harga barang hingga 9 persen. Hal ini secara langsung memengaruhi permintaan konsumen yang cenderung menurun karena
masyarakat memilih untuk menahan konsumsi mereka.

Kenaikan tarif PPN sering dianggap sebagai langkah cepat pemerintah untuk menambah penerimaan negara guna menutup defisit anggaran, namun kebijakan ini
memunculkan pertanyaan tentang prioritas penggalian sumber pendapatan lainnya.

Padahal, sektor tambang masih menyimpan potensi besar yang belum tergarap optimal, terutama dari aktivitas ilegal yang merugikan negara. Pernyataan Hasyim
tentang adanya potensi Rp300 triliun 1 dari pengemplang pajak seharusnya menjadi perhatian utama sebelum memutuskan menaikkan tarif PPN yang membebani
masyarakat luas.

Jika sumber-sumber pendapatan ini dapat dibereskan, pemerintah tidak perlu terburu-buru membebankan tambahan pajak pada masyarakat, yang pada akhirnya justru melemahkan daya beli dan menekan perekonomian.

Bahkan sudah ada rencana perubahan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak yang masuk ke Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025. Tentu perubahan ini memunculkan adanya potensi pengampunan yang ketiga dalam 10 tahun terakhir setelah sebelumnya ada di tahun 2016 dan 2022. Langkah ini menghapus dosa pajak para pengemplang.

Bahkan pemerintah saat ini sedang berencana memangkas pajak badan dari 22 persen menjadi 20 persen. Apakah ini langkah yang bijak di tengah ngototnya pemerintah ingin menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen? Maka tidak ayal, kelas kaya diberikan pengampunan pajak, kelas menengah diperas oleh negara.

Sri Mulyani selalu berkelakar bahwa apa yang pemerintah lakukan hanyalah menjalankan UU No 7 tahun 2021. Padahal, pemerintah memiliki kewenangan untuk
menetapkan tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen berdasarkan Pasal 7 ayat (3) dan (4), yang memungkinkan fleksibilitas dalam menentukan tarif melalui Peraturan Pemerintah.

Hal ini sekaligus membantah klaim Sri Mulyani bahwa pemerintah quote unquote menjalankan undang-undang. Ada ruang bagi pemerintah untuk meringankan beban masyarakat dengan mempertimbangkan tarif yang lebih rendah.

Di sisi lain, kebijakan pajak karbon yang seharusnya mulai diberlakukan sejak 2022 hingga kini belum diimplementasikan, padahal instrumen tersebut bisa menjadi
alternatif strategis untuk menambah penerimaan negara tanpa membebani konsumsi masyarakat secara langsung.

Pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih bijak dan berimbang agar kebijakan fiskal tidak justru melemahkan daya beli dan perekonomian secara keseluruhan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sekaligus anak buah Sri Mulyani, juga menyampaikan bahwa tarif PPN Indonesia menjadi salah satu yang terendah.

Data ini cukup missleading karena sejatinya tarif PPN Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.

Atas dasar itu, kenaikan tarif PPN tahun 2025 seharusnya dibatalkan. Pemerintah memiliki peluang besar untuk menetapkan tarif yang lebih bijak dan tidak
membebani masyarakat, tetapi justru memilih menambah tekanan yang harus dipikul oleh rakyat.

Ketika masyarakat saling bahu-membahu meringankan beban sesamanya, penguasa seolah hanya diam nyaman di kursi kekuasaan. Mereka lupa bahwa tanggung jawab mereka adalah melindungi dan memperjuangkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*