
Direktorat Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan berkomitmen melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Tanah Air.
Komitmen ini dilakukan salah satunya dengan menggelar kegiatan Harmoni Pemajuan Kebudayaan sebagai rangkaian Culture, Heritage, Arts, Narratives, Diplomacy, and Innovations (Chandi) yang digelar pada 3–5 September 2025 di Sanur, Bali, melalui Pameran Seni Rupa Keris “Vibrant Colors”, Peluncuran Buku Taksu Keris Bali, dan Sarasehan Masyarakat Adat Ubud, serta Pelantikan dan Penyerahan Pataka Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI).
“Acara ini menghidupkan kembali tradisi makan bersama sebagai ruang dialog budaya. Simbol Harmoni Budaya Kegiatan ini merupakan wujud nyata dari semangat Harmoni Pemajuan Kebudayaan menyatukan seni rupa, literasi budaya, ekspresi tradisi, dan kuliner sebagai elemen penting dalam merawat jati diri bangsa,” ujar Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta pada Selasa.
Adapun Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutkan bahwa seluruh rangkaian dimaksudkan untuk memperkuat ekosistem pemajuan kebudayaan melalui kolaborasi lintas bidang seni, penelitian, dan tradisi kuliner.
Fadli Zon juga menyampaikan jika kebudayaan itu adalah etalase paling depan, kebudayaan itu adalah wajah peradaban.
Perjalanan peradaban dari semua negara, maju atau tidak, dilihat dari kebudayaan. Hal itu penting sebagai mesin bagi pembangunan. Tetapi kekayaan yang paling penting adalah kekayaan budaya yang menurutnya bisa menjadi ekonomi budaya.
Lewat kegiatan ini, diharapkan publik semakin menyadari bahwa kebudayaan adalah ruang hidup bersama yang perlu dijaga, diwariskan, dan dikembangkan. Fadli menegaskan bahwa kuliner adat seperti Cara Puri adalah bagian penting dari pemajuan kebudayaan.
Dalam momen penting dalam kegiatan ini adalah peluncuran buku Taksu Keris Bali, yang ditulis Fadli bersama Staf Khusus Menteri Bidang Sejarah dan Pelindungan Warisan Budaya Basuki Teguh Yuwono.
Buku ini membahas keris bukan hanya sebagai objek budaya, melainkan sebagai manifestasi nilai, keyakinan, dan kekuatan spiritual dalam masyarakat Bali.
Fadli menegaskan pentingnya penguatan literasi budaya melalui penerbitan karya tulis yang mendalam dan kontekstual, khususnya yang dapat menjangkau generasi muda.
Buku ini tidak hanya mendeskripsikan keris, tetapi menyingkap makna yang tersembunyi di balik bentuknya, mulai dari proses penciptaan, tuah, hingga peran keris dalam kehidupan spiritual.