Larangan Jual Rokok Zonasi 200 Meter, Pengusaha Toko Ritel

Foto: Aktivitas seorang warga menjaga kendaraan di salahsatu minimarket di kawasan Jakarta, Rabu (8/4/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Kalangan pengusaha ritel bereaksi keras dengan rencana pemerintah yang bakal memberlakukan larangan aktivitas penjualan produk tembakau seperti rokok. Penjualan produk tembakau dan rokok elektronik dilarang pada radius 200 meter dari kawasan sekolah dan tempat bermain anak.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey menyampaikan bahwa kebijakan ini berpotensi besar menjadi pasal karet yang multitafsir dan menyulitkan di lapangan. Aturan ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP No 28/2024 tentang Kesehatan).

Ia menyoroti ketidakjelasan implementasi berdasarkan zonasi tersebut. Klausul ini bakal mematikan para peritel yang sudah beroperasi sebelum sekolah dan tempat bermain berdiri di sekitar tempat usahanya. Pasalnya, ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau.

“Apakah nanti pemerintah yang akan melakukan pengukuran jarak dari tempat berjualan ke satuan pendidikan atau pemerintah akan memberlakukan zona steril di sekitar lingkup satuan pendidikan? Dan definisi pusat pendidikan ini juga belum jelas. Apakah hanya sekolah atau tempat kursus? Narasinya tidak spesifik sehingga menimbulkan multitafsirdan menjadi pasal karet,” tulis Roy dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Senin (5/8/2024).

Aturan zonasi ini dinilai bukan merupakan solusi yang tepat karena dibandingkan mengatur area penjualan, sebaiknya yang dikedepankan adalah edukasi berkelanjutan bagi anak-anak. Jika, aturan ini diimplementasikan tanpa adanya perubahan perilaku dan edukasi bagi anak-anak, maka mereka akan dengan mudah terpapar rokok ilegal.

“Mestinya, pemerintah fokus untuk memberantas rokok ilegal agar tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Bukannya memberikan batasan penjualan bagi rokok legal yang memberikan kontribusi sekitar Rp230 triliun bagi penerimaan negara,” terangnya.

Di samping itu, pemerintah juga seharusnya mengedepankan aspek edukasi bagi anak-anak untuk tidak memiliki kebiasaan merokok. Sepatutnya, aspek edukasi ini dibangun sejak dini mulai dari PAUD hingga sekolah dasar dan menengah untuk menjelaskan risiko kesehatan jika terjadi penyalahgunaan.

Saat ini, yang justru terjadi adalah kelemahan di aspek edukasi yang menyebabkan pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi aspek-aspek ekonomi dari produk tembakau. Padahal, pembatasan penjualan rokok yang tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 sudah mengetatkan aturan penjualan rokok.

“Kalau aturan 200 meter ini diterapkan, apakah ini akan menambah rentetan pasal karet yang dibuat oleh pemerintah? Kalau aturan ini diterapkan, apakah bisa menghilangkan rokok ilegal? Yang ada rokok ilegal akan menjadi lebih banyak daripada rokok legal,” kata Roy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*