Jakarta Kota Termacet ke-7 di Dunia, Deretan Kota Ini Lebih Parah

Suasana antrean kendaraan memasuki  jalur kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Senin (27/1/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Dalam laporan terbaru INRIX 2024 Global Traffic Scorecard, Jakarta berhasil “naik peringkat” menjadi kota termacet ke-7 di dunia, dengan rata-rata penundaan per pengemudi mencapai 89 jam per tahun lonjakan signifikan sebesar 37% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 65 jam. Pengemudi di Ibu Kota rata-rata kehilangan 89 jam setahun akibat macet, melonjak 37% dibandingkan tahun lalu yang mencatat 65 jam. Lonjakan ini menjadikan Jakarta “naik kelas” dari peringkat ke-10 pada 2023. Di antara kota-kota Asia lainnya, hanya Istanbul yang berada di posisi lebih tinggi dengan total waktu penundaan mencapai 105 jam per tahun.

Peringkat ini menempatkan Jakarta sejajar dengan kota-kota metropolitan seperti New York City dan London. Namun, di balik angka tersebut, terdapat realitas yang memprihatinkan. Sebagian besar kemacetan di Jakarta dipicu oleh beberapa faktor utama, mulai dari laju urbanisasi yang pesat hingga peningkatan kendaraan pribadi. Infrastruktur jalan yang belum mampu mengimbangi pertumbuhan kendaraan menjadi tantangan besar, sementara transportasi publik, meski sudah mengalami perbaikan dengan hadirnya MRT dan LRT, masih belum sepenuhnya menjawab kebutuhan mobilitas warga.

Kemacetan Jakarta tidak hanya berdampak pada waktu yang hilang di jalan, tetapi juga merugikan ekonomi kota. Laporan INRIX mengungkapkan bahwa rata-rata pengemudi di kota besar seperti New York kehilangan USD 1.976 per tahun akibat dampak kemacetan. Jika angka ini diekstrapolasi ke Jakarta, dampaknya terhadap produktivitas dan perekonomian bisa jadi signifikan. Selain itu, kemacetan memperburuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat, mengingat kendaraan bermotor adalah salah satu kontributor utama polusi di kota ini.

Fenomena ini juga memunculkan tantangan besar dalam tata kelola transportasi kota. Kecepatan rata-rata kendaraan di pusat kota Jakarta hanya 13 mil per jam, mirip dengan kota-kota seperti Mexico City, Paris, dan London. Hal ini menunjukkan bahwa masalah manajemen lalu lintas bukan hanya soal kapasitas jalan, tetapi juga efisiensi pengaturan arus kendaraan. Pemerintah DKI Jakarta perlu merumuskan strategi jangka panjang, mulai dari pembatasan kendaraan pribadi hingga pengembangan transportasi massal yang lebih komprehensif.

Dengan peringkat yang semakin tinggi ini, Jakarta sebenarnya memiliki peluang besar untuk melakukan pembenahan signifikan di sektor transportasi. Laporan ini menjadi pengingat bahwa kemacetan bukan sekadar isu perkotaan, melainkan tantangan global yang membutuhkan solusi kreatif dan kolaboratif. Bagaimanapun, tanpa perbaikan yang konkret, posisi Jakarta di daftar kota termacet mungkin akan terus merangkak naik di tahun-tahun mendatang.

singa4d

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*