Arab Saudi kembali dituding sebagai negara yang mempercepat perubahan iklim. Hal ini disampaikan oleh sejumlah analis kepada Associated Press, Sabtu (14/12/2024).
Hal ini bukanlah karena posisi negara itu yang menjadi salah satu produsen terbesar minyak bumi di dunia, melainkan terkait penyelenggaraan Piala Dunia 2034 di Arab Saudi. Diketahui, Riyadh telah menciptakan kota futuristik dan memperluas bandara dalam pembangunan besar-besaran untuk menampung jutaan atlet, pelatih, dan penonton.
Pembangunan ini akan mengeluarkan berton-ton gas rumah kaca yang menghangatkan planet. Ketika semua emisi yang terkait dengan bangunan dunia dikelompokkan bersama, mereka adalah penyumbang terbesar perubahan iklim.
“Membangun begitu banyak tempat baru merupakan pemborosan lingkungan yang ekstrem karena begitu banyak karbon yang akan dilepaskan dan sumber daya yang digunakan terbatas,” kata Andrew Zimbalist, seorang profesor ekonomi di Smith College di Massachusetts yang telah menulis beberapa buku tentang ekonomi acara olahraga besar.
“Piala Dunia harus diadakan di negara-negara dengan budaya dan industri sepak bola yang maju.”
Direktur pendiri organisasi penelitian Eneref Institute, Seth Warren Rose, mengatakan bumi akan menjadi lebih panas satu dekade dari sekarang sehingga bumi tidak mampu menanggung pemanasan tambahan ini.
“Maaf, tapi kita hidup di planet yang berbeda. Kita harus bersiap untuk itu. Pada tahun 2034, kita akan hidup di iklim yang berbeda dan itu bukan metafora,” ungkap Rose.
Rencana Arab Saudi akan sangat bergantung pada beton, yang bertanggung jawab atas sekitar 8% emisi global yang menghangatkan planet ini, sementara besi dan baja menyumbang 7% lainnya. Kelompok hak asasi manusia juga khawatir bahwa memberikan Piala Dunia 2034 kepada Arab Saudi akan membahayakan pekerja migran.
Dalam buku penawaran yang merinci rencananya untuk pembangunan di lima kota menjelang Piala Dunia, Arab Saudi mengatakan tiga stadion baru saat ini sedang dibangun dan delapan stadion lagi direncanakan. Ini untuk mengakomodasi pertandingan yang akan diikuti 48 tim sepak bola itu.
Riyadh telah mengusulkan 134 akomodasi untuk tim dan wasit, hotel baru, beberapa lokasi festival penggemar, perluasan transportasi, termasuk kereta api berkecepatan tinggi dan investasi lebih lanjut di kota futuristik NEOM. Ini terkait dengan Visi 2030 Saudi, yang dibentuk untuk menghilangkan dependensi negara itu pada minyak.
Di sisi lain, bangunan yang dibangun untuk acara olahraga internasional sering kali berakhir menjadi tempat yang tidak digunakan lagi setelah pertandingan selesai. Selain itu, fasilitas seringkali tidak dilengkapi dengan sumber energi terbarukan.
“Skala besar rencana Arab Saudi untuk acara tersebut, ditambah jarak antara kota tuan rumah menunjukkan bahwa ini bisa menjadi Piala Dunia dengan intensitas karbon tertinggi dalam sejarah,” kata peneliti di lembaga pemikir Chatham House, Karim Elgendy.
FIFA sendiri memilih Saudi setelah negara itu membentuk janji keberlanjutan dan iklim pada November lalu. Mereka mencatat bahwa meskipun tingkat konstruksi akan memiliki dampak lingkungan yang material, Saudi memberikan dasar yang baik untuk melakukan manuver mitigasi untuk mengatasi beberapa tantangan terkait lingkungan.
Meski begitu, skeptisisme juga muncul dengan keputusan FIFA karena sebelumnya telah menetapkan tetangga Saudi, Qatar, menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 lalu. Pasalnya, dalam hal itu, Doha menyumbangkan emisi karbon yang besar.
“Tampaknya FIFA hanya belajar sedikit dari bencana Piala Dunia di Qatar,” kata Khaled Diab, juru bicara Carbon Market Watch.