
Industri pertahanan dan dirgantara tercatat sebagai salah satu industri maju yang mengadopsi konsep rantai pasok global agar produk akhir yang dihasilkan dapat dijual dengan harga bersaing di pasar.
Penerapan kebijakan tarif resiprokal dan tarif sektoral oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap banyak negara di dunia dipastikan berdampak pula pada industri dirgantara dan pertahanan.
Sebab, pabrikan di Amerika Serikat seperti Boeing, Lockheed Martin, Northrop Grumman, Airbus, GE Aerospace dan Pratt & Whitney mempunyai ribuan pemasok dari berbagai penjuru dunia.
Kebijakan tarif sektoral, yaitu 25%, terhadap baja dan aluminium impor berdampak terhadap industri dirgantara dan pertahanan di masa industri ini tengah menghadapi pekerjaan rumah yang belum tuntas pasca pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Data detail mengenai dampak tarif sektoral terhadap sektor pertahanan dan dirgantara akan tersedia mulai beberapa bulan ke depan, termasuk dalam harga jual produk akhir kepada konsumen.
Industri dirgantara Indonesia merupakan bagian dari rantai pasok global, baik dalam status sebagai produsen pesawat terbang maupun pembuat komponen pesawat udara. Sampai saat ini belum diketahui pasti bagaimana dampak tarif sektoral 25 persen maupun tarif resiprokal 32 persen terhadap industri dirgantara Indonesia mengingat bahwa pabrik yang memasok komponen kepada Boeing berstatus sebagai tier 2.
Pada pelaku bisnis dirgantara di Amerika Serikat pun masih menunggu bagaimana realisasi tarif tersebut, mengingat bahwa industri dirgantara negara itu mengandalkan pasokan material, parts dan komponen dari sejumlah negara yang dikenai tarif sektoral dan resiprokal.
Tidak mudah untuk mengganti pemasok asing untuk parts dan komponen untuk industri dirgantara Amerika Serikat, sebab jumlah pemasok global tidak banyak, selain dibutuhkan sertifikasi FAA agar produk-produk tersebut dapat digunakan pada pesawat terbang buatan Boeing dan pabrikan lain.
Sejak 2009 pemerintah telah berupaya menguatkan kembali peran industri dirgantara di Indonesia lewat program revitalisasi industri pertahanan. Meskipun pemerintah selama tempo 2009-2023 telah mengucurkan dana minimal belasan triliun Rupiah lewat skema Penyertaan Modal Negara (PMN), akan tetapi kondisi industri dirgantara dan pertahanan milik negara hingga kini cenderung jalan di tempat.
Fakta menunjukkan bahwa tidak ada perbandingan lurus antara PMN yang telah dikucurkan dengan kemajuan firma pertahanan dan daya saing mereka di tingkat internasional. Penggelontoran PMN bukan solusi mujarab dalam program revitalisasi industri pertahanan sebab dana tersebut tidak menjawab tiga masalah yang dihadapi.
Pertama, keuangan. Terlepas dari laporan keuangan beberapa firma pertahanan milik negara bahwa kondisi keuangan mereka positif, fakta menunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut selalu berhadapan dengan isu cashflow, bahkan untuk memastikan bahwa karyawan mereka akan menerima gaji secara penuh setiap bulan.
Isu cashflow menandakan pendapatan yang tidak stabil sebagai dampak dari kinerja penjualan, sementara pengeluaran perusahaan mencakup pula membiayai kontrak yang telah didapatkan dari konsumen. Masalah keuangan turut menghambat kebutuhan untuk melaksanakan modernisasi semua fasilitas produksi yang sudah tidak efisien yang membuat firma-firma itu tidak kompetitif di pasar.
Kedua, fasilitas produksi. Modernisasi dan perluasan fasilitas produksi merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan saat ini, khususnya untuk mesin-mesin CNC karena belum semua mesin CNC yang dibeli di era Orde Baru telah digantikan oleh mesin CNC keluaran terbaru.
Menyangkut perluasan fasilitas produksi, hal demikian juga merupakan kebutuhan agar dapat menjawab bersaing di pasar sehingga jadwal penyerahan pesanan yang lebih singkat daripada sebelumnya.
Yang menjadi masalah ialah firma-firma pertahanan milik negara tidak memiliki kemampuan pendanaan internal untuk melaksanakan modernisasi fasilitas produksi dan hanya berharap pada kucuran PMN dari pemerintah.
Ketiga, sumberdaya manusia. Masalah ini bukan sekedar daya tarik industri pertahanan dibandingkan industri lain dan transfer ilmu dari generasi insinyur lama kepada generasi insinyur baru, tapi pula tentang peningkatan keterampilan para operator yang bertanggungjawab atas kegiatan produksi.
Peningkatan keterampilan para operator mempunyai korelasi langsung dengan pengendalian mutu produk yang pada akhirnya terkait juga dengan daya saing perusahaan terhadap para kompetitor. Isu peningkatan keterampilan para operator mempunyai hubungan pula dengan masalah yakni fasilitas produksi.
Terdapat hubungan yang saling terkait antara masalah kemampuan finansial perusahaan, fasilitas produksi dan sumberdaya manusia. Merupakan fakta yang sulit untuk dibantah bahwa ketiga masalah tersebut selalu menjadi tantangan bagi perusahaan pertahanan milik negara untuk menjalin atau meningkatkan kemitraan industri dengan firma-firma pertahanan global.
Penilaian yang dilakukan oleh beberapa perusahaan pertahanan dunia terhadap firma pertahanan BUMN Indonesia selalu berujung pada tiga temuan, yaitu kemampuan keuangan, fasilitas produksi dan sumberdaya manusia. Tanpa penyelesaian terhadap ketiga masalah, sulit bagi firma-firma pertahanan milik negara untuk menjalin kemitraan baru atau meningkatkan kemitraan yang sudah terjalin selama puluhan tahun.
Sejak revitalisasi industri pertahanan dimulai, sejumlah perusahaan pertahanan milik negara berupaya membangun kemitraan baru atau meningkatkan kerjasama dengan mitra yang sudah ada.
Kerja sama lama yang masih terus berlanjut hingga saat ini di antaranya adalah PT Dirgantara Indonesia dan Airbus selaku penerus Aerospatiale, Messerschmitt-Bölkow-Blohm dan CASA. Adapun kemitraan baru misalnya Thales dengan PT LEN Industri melalui firma Joint Venture dan PT PAL Indonesia dengan Naval Group.
Akan tetapi upaya menciptakan kerjasama baru maupun meningkatkan kemitraan lama tidak mudah, khususnya ketika usulan cakupan kerjasama memasuki isu seperti engineering dan produksi.
Pertanyaannya, apakah pemerintah selaku pemegang saham akan menyelesaikan ketiga masalah lingkaran setan yang terkait dengan daya saing BUMN industri pertahanan? Tanpa penyelesaian terhadap masalah keuangan, fasilitas produksi dan sumberdaya manusia, peluang bisnis yang ditawarkan oleh mitra asing tidak dapat dipenuhi sehingga memberikan kerugian bagi perusahaan Indonesia dari aspek keuangan dan pasar.
Terdapat kasus di mana tidak semua produk komponen yang dimanufaktur oleh suatu firma BUMN diterima oleh mitra asing dengan alasan tidak memenuhi kualitas yang telah ditentukan. Akar persoalan adalah mesin CNC yang sudah tidak presisi, tidak ada kalibrasi secara rutin terhadap mesin CNC dan operator produksi yang tidak menjalani peningkatan keterampilan secara berkala.
Apabila ketiga masalah lingkaran setan tidak diatasi, maka sebagian BUMN industri pertahanan hanya menjadi perantara antara pemerintah Indonesia dan OEM asing dalam kontrak-kontrak di sektor pertahanan.
Peran sebagai perantara tidak memberikan keuntungan finansial dalam jangka panjang, namun hanya berdasarkan target jangka pendek yakni bagaimana menghasilkan pendapatan secara cepat, mudah dan murah guna membayar gaji pegawai, biaya operasi dan melunasi tagihan pemasok material. Dengan kata lain, firma-firma pertahanan milik negara masih hidup hanya untuk hari ini dan bukan hidup untuk hari esok.