Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Eniya Listiani Dewi menjelaskan Indonesia telah menyampaikan komitmen kepada dunia internasional untuk mencapai target net zero emission pada 2060. Namun, dengan catatan tetap memperhatikan ketahanan energi yang mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberterimaan.
Ia lantas mengungkapkan bahwa skor indeks ketahanan energi Indonesia saat ini masih cukup baik, yaitu berada di level 6,64 dari skala 10. Meski begitu, menurutnya aspek keberterimaan dan aksesibilitas terutama di wilayah terpencil dan kepulauan perlu ditingkatkan kembali.
“Tapi, kita perlu meningkatkan hal ini, terutama pada aspek keberterimaan. Aksesibilitas masih menjadi tantangan, namun yang paling rendah adalah keberterimaan terhadap energi terbarukan dan kesadaran lingkungan, khususnya di daerah terpencil dan kepulauan,” ujar Eniya dalam acara Endress+Hauser Indonesia, Sustainability Recognition Forum 2025, dikutip Jumat (9/5/2025).
Eniya mengakui tantangan besar yang dihadapi saat ini adalah memasukkan energi terbarukan ke sistem kelistrikan di daerah terpencil. Sebagai contoh, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung yang sering mendapatkan penolakan dari warga lokal.
“Dalam isu panas bumi, terdapat masalah sosial di beberapa lokasi yang memerlukan edukasi masyarakat tentang energi terbarukan. Contoh lainnya adalah PLTS terapung yang juga menghadapi tantangan dari sisi keberterimaan masyarakat lokal,” ujarnya.
“Dua sedang dalam proses modal disetor OJK mendorong pemenuhan ekuitas minimum, baik berupa injeksi modal, dan strategic investor dan opsi pengembalian izin usaha,” kata Kepala Eksekutif Pengawas PVML OJK Agusman dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan April 2025, Jumat (9/5/2025).
Sementara itu, pertumbuhan pembiayaan multifinace dan fintech P2P lending melambat per Maret 2025. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), piutang pembiayaan multifinance pada tiga bulan pertama tahun ini senilai Rp 510,97 triliun, naik 4,6% secara tahunan (yoy).
Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, pertumbuhan tersebut melambat 132 basis poin (bps).
“Piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tumbuh 4,6% yoy pada Maret 2025. Di Februari 2025 lalu tumbuh 5,92% yoy,” kata Agusman.
Hal itu diikuti dengan rasio pembiayaan bermasalah atau nonperforming financing (NPF) gross sebesar 2,71% dan NPF net 0,8%.
Sementara itu, outstanding pembiayaan fintech P2P lending juga tumbuh melambat. Per Maret 2025 pembiayaan P2P lending naik 28,72% yoy menjadi Rp 80,02 triliun.
Pada bulan sebelumnya atau Februari 2025, pembiayaan P2P lending tumbuh 31,06% yoy.
Adapun tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) per Maret 2025 sebesar 2,77%, membaik dibandingkan dengan posisi tahun lalu 2,94%.
Panasonic, yang dikenal sebagai pemasok utama baterai untuk kendaraan listrik Tesla, mengungkapkan bahwa pemangkasan ini akan mencakup sekitar 4% dari total tenaga kerjanya yang mencapai hampir 230.000 orang di seluruh dunia. Langkah tersebut akan difokuskan pada tahun keuangan berjalan hingga Maret mendatang.
“Kami akan meninjau secara menyeluruh efisiensi operasional di setiap perusahaan grup, terutama di departemen penjualan dan nonproduksi,” kata Panasonic dalam pernyataan resminya, dilansir dari AFP, Jumat (9/5/2025).
“Kami akan mengevaluasi kembali jumlah organisasi dan personel yang benar-benar dibutuhkan,” tambahnya.
Perusahaan yang berbasis di Osaka itu menjelaskan bahwa pemangkasan tenaga kerja ini akan meliputi 5.000 karyawan di Jepang dan 5.000 lainnya di luar negeri, yang akan dilaksanakan “sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan, aturan, dan regulasi di setiap negara dan wilayah.”
Panasonic yang dikenal luas di seluruh dunia sejak pertengahan abad ke-20 melalui berbagai produk elektronik, seperti penanak nasi, televisi, hingga perekam video, kini berfokus pada restrukturisasi besar-besaran. Selain menjadi pemasok utama baterai untuk Tesla, Panasonic juga memiliki bisnis di sektor perumahan, energi, dan otomotif.
Pada Februari lalu, Panasonic telah menguraikan program reformasi manajemen sebagai bagian dari penyelesaian “berbagai masalah struktural” yang dihadapi perusahaan.
“Melalui reformasi manajemen saat ini, perusahaan bertujuan untuk meningkatkan keuntungan setidaknya sebesar 150 miliar yen (sekitar 1 miliar dolar AS),” ungkap Panasonic.
Dalam laporan keuangan tahunan yang dirilis pada hari yang sama, Panasonic memperkirakan penurunan laba bersih sebesar 15% untuk tahun ini, disertai penurunan penjualan hingga delapan persen. Di tahun keuangan yang berakhir pada 31 Maret 2025, perusahaan mencatat penurunan laba bersih sebesar 17,5% menjadi 366 miliar yen.
Panasonic juga mengakui bahwa pihaknya tengah menghadapi “perubahan lingkungan bisnis yang sedang berlangsung, seperti penurunan permintaan untuk kendaraan listrik (EV)”. Meskipun begitu, dampak dari tarif perdagangan Amerika Serikat belum diperhitungkan dalam perkiraan tersebut.
“Perusahaan terus memantau situasi tarif dan bertujuan meminimalisir dampak yang dihasilkan dengan mengambil langkah-langkah jangka pendek maupun jangka panjang,” tambahnya.
Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada April, CEO Panasonic Holdings, Yuki Kusumi, mengatakan kepada Nikkei bahwa pengurangan jumlah karyawan akan menjadi langkah yang diperlukan, meskipun saat itu ia belum merinci skala pengurangan tersebut.
“PHK diperlukan agar kami dapat bersaing di level yang kompetitif dengan perusahaan lain,” ujar Kusumi kepada Nikkei.
Meskipun langkah ini tergolong ekstrem, Kusumi menekankan bahwa dalam sejarahnya, Panasonic pernah melakukan ekspansi tenaga kerja secara bertahap selama periode yang menguntungkan.
“Jadi, jika kita dapat melihat, hingga nol bersih, kita akan memiliki 70% hingga 72% energi terbarukan,” jelas Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi dalam Sustainability Recognition Forum 2025, di Jakarta, dikutip Jumat (9/5/2025).
Tercatat, sampai pada awal tahun 2025 ini, bauran EBT baru mencapai sebesar 15%. Maka, Indonesia masih memerlukan investasi yang lebih besar lagi untuk mendukung terciptanya bauran EBT 72% tersebut.
“Energi terbarukan dalam bauran energi kita masih 15%. Jadi, kita harus melakukan banyak investasi. Kita ingin berkolaborasi dengan internasional untuk mencapai tujuan kita,” tambahnya.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah akan menggenjot pengembangan energi baru terbarukan melalui Tenaga Surya, Laut, Angin, Hidro dan Panas Bumi.
Khusus untuk hidro dan panas bumi, ini adalah dua jenis energi terbarukan baseload sebagai pengganti energi fosil seperti batu bara. “Energi terbarukan lainnya adalah yang terputus-putus. Jadi, kita harus mengelola penyimpanan,” katanya.
Nah, dalam 5 tahun mendatang pemerintah akan menambahkan infrastruktur penyimpanan energi dan juga membangun infrastruktur jaringan transmisi listrik.
“Dan juga, yang lain, kami akan memasang lebih banyak pada tenaga surya dan hidro. Dan juga, secara agresif, kami ingin lebih banyak pada energi angin,” tandasnya.
Seluruh pendukung Prabowo dalam Pemilihan Umum Presiden 2024-2029 bersorak menyambut janji itu, seolah menjadi mimpi kolektif bangsa. Sebuah visi mulia tentang masa depan Indonesia yang lebih sehat dan cerdas, dimulai dari perut anak-anak demi menyongsong Indonesia Emas 2045.
Kini, narasi megah itu pelan-pelan berubah bentuk, dari harapan menjadi kelelahan. Dapur umum yang dulu dielu-elukan kini menjadi ladang kerja sukarela tanpa bayaran hingga sempat tutup.
Pengusaha katering mulai mengeluh rugi karena harga yang ditekan tapi kualitas tetap dituntut tinggi. Dan yang paling ironis, anak-anak yang dijanjikan gizi, justru muntah karena makanan yang tidak layak (basi).
Janji politik itu belum sepenuhnya mati, tapi nyawanya kini tergantung pada benang rapuh antara idealisme dan realitas lapangan. Apakah janji ini akan benar-benar terealisasi, atau hanya akan menjadi wacana yang tak terwujud?
Mempertanyakan realisasi janji kampanye MBG Ketika program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai, semua masyarakat berharap ada perubahan nyata. Bahkan, saat kampanye di GBK, Prabowo berjanji bahwa semua anak Indonesia akan mendapat makanan bergizi, dan tentu saja gratis.
Namun, di lapangan cerita berbeda. Di Kalibata, Jakarta Selatan, dapur yang semestinya menyediakan ribuan porsi makanan untuk anak-anak malah tutup. Polemik tunggakan Rp 1 Miliar pun mengemuka ke publik. Pemilik dapur menuntut pembayaran selama dua bulan yang belum sama sekali dibayarkan.
Janji manis itu kini justru terkesan kosong. Pemerintah seolah hanya membicarakan angka-angka besar tentang target stunting yang ingin diselesaikan pada 2045, namun realitasnya di lapangan sangat jauh dari harapan.
Pemerintah mengeklaim uji coba MBG di beberapa daerah berjalan “sukses”. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Di Sukoharjo, 40 siswa mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang didistribusikan dalam program ini.
Di Nunukan, Kalimantan Utara, kasus serupa terjadi, dengan sejumlah anak dirawat akibat mengonsumsi makanan basi yang tidak sampai memenuhi standar gizi (Widyastuti, 2025).
Kejadian-kejadian seperti ini jelas menunjukkan bahwa gagal merencanakan dengan matang. Program besar seperti ini seharusnya didahului dengan penelitian yang mendalam tentang kebutuhan dan kapasitas distribusi.
Namun yang terjadi, distribusi makanan dilakukan tanpa perhatian pada waktu penyimpanan, kualitas bahan baku, dan keamanan pengolahan.
Pemerintah tentu saja tidak ingin disalahkan di hadapan publik. Dalam setiap pidato dan konferensi pers, mereka tetap bersikeras MBG adalah langkah besar menuju Indonesia bebas stunting pada 2045. Namun, di lapangan, warga merasa lebih seperti mereka menjadi kelinci percobaan tanpa jaminan yang jelas.
Prabowo selaku presiden sudah memberikan tanggapan mengenai kasus makanan basi dalam program MBG. Dalam rapat kabinet pada 5 Mei 2025, beliau mengonfirmasi adanya insiden keracunan yang melibatkan sekitar 200 orang dari lebih 3 juta penerima manfaat. Namun, beliau menekankan bahwa persentase kasus tersebut hanya sekitar 0,005% dari total penerima, yang dianggap menunjukkan tingkat keberhasilan program hingga 99,99%
Pernyataan Prabowo soal insiden ini tampak lebih sebagai upaya meredam kritik ketimbang refleksi serius atas kegagalan di lapangan. Dengan menyoroti bahwa hanya 0,005% dari total penerima yang terdampak, pemerintah terlihat ingin mengemas masalah ini sebagai hal kecil, meskipun kenyataannya ratusan orang mengalami keracunan. Di balik statistik itu, ada nyawa dan kepercayaan publik yang dipertaruhkan, bukan sekadar angka.
Klaim bahwa makanan yang terkontaminasi berhasil dicegah sebelum dikonsumsi masyarakat terasa janggal ketika di saat bersamaan ada bukti keracunan massal. Ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang dijanjikan masih jauh dari andal. Pernyataan itu justru mempertegas bahwa pengawasan masih bocor dan evaluasi belum menyentuh akar masalah.
Lebih jauh, menyalahkan budaya makan dengan tangan sebagai salah satu penyebab keracunan memperlihatkan kecenderungan menyalahkan rakyat. Padahal, makan dengan tangan adalah tradisi yang sudah mengakar dan tidak serta-merta berbahaya jika sanitasi dijaga. Menyulut narasi semacam ini justru berisiko menciptakan stigma dan mengalihkan fokus dari ketidaksiapan sistem logistik negara.
Keseluruhan pernyataan Prabowo cenderung menampilkan keberhasilan dengan kacamata elitis dan sempit. Program MBG bukan sekadar proyek politik, ia menyangkut hak dasar anak-anak atas makanan yang layak. Maka ketika terjadi kegagalan, solusinya bukan dengan menyuguhkan persentase yang meninabobokan, tetapi membongkar akar persoalan dan memperbaiki sistem dari dalam.
Relawan terabaikan, makanan terbuang Masalah lain yang muncul adalah keterlambatan pembayaran kepada relawan. Di Kalibata, dapur yang disiapkan untuk memasak makanan gratis terpaksa tutup karena dana yang dijanjikan pemerintah tak kunjung cair.
“Kami sudah memasak, tetapi tak bisa mengirimkan makanan karena tidak ada biaya untuk pengoperasian dapur,” kata relawan lain. Padahal, dapur itu dibuka untuk membantu anak-anak yang membutuhkan makanan bergizi, namun justru terhenti karena masalah anggaran (Suryadi, 2025).
Hal serupa terjadi di daerah lain. Pemerintah seolah mengabaikan para relawan yang bekerja keras untuk menjalankan program ini. Akibatnya, banyak makanan yang terbuang sia-sia, sementara anak-anak yang seharusnya mendapat manfaat dari program ini justru tidak mendapatkan apa-apa.
Ladang korupsi terbuka lebar Kekhawatiran terhadap program MBG ini semakin meluas, terutama ketika sejumlah ahli mulai menyuarakan peringatan bahwa program ini bisa dengan mudah berubah menjadi ladang korupsi. Dengan anggaran jumbo mencapai Rp 400 triliun, tapi minim pengawasan, celah untuk penyalahgunaan terbuka lebar.
Dari pengadaan bahan makanan, pencairan dana, hingga mekanisme distribusi di daerah, semuanya berpotensi jadi titik rawan jika tak diawasi dengan ketat.
Muhamad Saleh, ekonom dari Celios, menyuarakan keprihatinan tajam. Ia menyebut bahwa anggaran sebesar itu, bila dikelola tanpa audit terbuka dan sistem transparansi yang jelas, sangat rentan diselewengkan.
“Kalau pengawasan lemah, yang diuntungkan bukan rakyat, tapi mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan,” ujarnya lugas. Dalam ketiadaan kontrol, janji makan bergizi bisa berubah jadi bancakan politik.
Ekonomi lesu, program mahal Di tengah tekanan ekonomi yang kian berat, pemerintah justru memaksakan program sosial berskala besar ini. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 4,87% pada kuartal pertama 2025, angka yang lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu, inflasi terus naik dan aktivitas di sektor produktif mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk meluncurkan program dengan beban anggaran begitu besar?
Sejumlah ekonom mempertanyakan efektivitas MBG dalam konteks fiskal yang terbatas. Program ini dinilai dapat menguras anggaran negara tanpa memberikan dampak nyata dalam jangka pendek. Semasa hidup, Faisal Basri, ekonom senior, menilai bahwa fokus pemerintah seharusnya diarahkan pada sektor-sektor yang lebih produktif.
Belajar dari pengalaman negara lain Lihatlah pengalaman negara-negara yang lebih dulu mengimplementasikan program serupa. Brasil, misalnya, dengan Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) yang sudah berjalan sejak 1955, berhasil memberikan makanan bergizi kepada anak-anak di sekolah, berkat kemitraan dengan petani lokal dan sistem pengawasan yang ketat.
Kenya pun memulai program serupa dengan melibatkan masyarakat setempat untuk mengelola distribusi makanan bagi anak-anak di sekolah-sekolah.
Meski begitu, kedua negara ini tidak luput dari masalah besar, terutama ketergantungan pada dana luar dan masalah distribusi yang sering terlambat. Ini menunjukkan bahwa tanpa pengelolaan yang transparan dan keberlanjutan pendanaan, program semacam ini bisa dengan mudah gagal.
Di sisi lain, Indonesia yang semangatnya tinggi justru terjebak dalam kekacauan yang bisa diprediksi. Program MBG yang diharapkan menjadi solusi nyata kini justru menghadapi masalah logistik, distribusi yang berantakan, dan kualitas makanan yang jauh dari harapan.
Makanan basi, keterlambatan distribusi, serta pengelolaan yang lemah telah menciptakan ketidakpastian yang hanya memperburuk kondisi. Kenyataan ini tidak hanya merusak kredibilitas pemerintah, tetapi juga memperpanjang masalah gizi buruk yang sudah seharusnya dapat diatasi.
Indonesia, yang seharusnya bisa belajar dari Brasil dan Kenya, malah menunjukkan bahwa pengelolaan yang buruk dan lemahnya pengawasan bisa menggagalkan suatu program besar. Jika Brasil berhasil melibatkan petani lokal dalam menyediakan makanan berkualitas, Indonesia tampaknya masih terhambat oleh koordinasi yang buruk antar lembaga dan kurangnya dukungan kepada sektor lokal.
Transparansi dan pengawasan yang ketat, yang menjadi kunci keberhasilan di negara lain, malah terbukti minim di Indonesia, yang berujung pada distribusi makanan yang tidak layak konsumsi.
Apa yang dijanjikan dengan gegap gempita kini terancam menjadi beban bagi rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya segera melakukan evaluasi mendalam dan memperbaiki banyak aspek dalam pelaksanaan MBG, mulai dari pengawasan distribusi, kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat, hingga alokasi dana yang lebih transparan dan tepat sasaran.
Tanpa perbaikan yang nyata, program ini hanya akan menjadi ladang potensi korupsi dan ketidakadilan, alih-alih menjawab masalah kelaparan dan gizi buruk yang mengakar di Indonesia. Jika pemerintah tidak segera bertindak tegas, janji tersebut akan terhanyut dalam arus kegagalan yang hanya menyisakan kekecewaan.
Penunjukan ini tak menghilangkan jabatan Sam Altman sebagai CEO OpenAI. Artinya, OpenAI akan memiliki dua CEO yang memiliki peran berbeda.
“Fidji Simo bergabung sebagai CEO of Applications dan melapor langsung kepada saya,” kata Altman dalam pengumuman yang dirilis di laman resmi OpenAI, dikutip Jumat (9/5/2025).
“Saya tetap menjadi CEO OpenAI dan melanjutkan pengawasan keseluruhan untuk berbagai pilar OpenAI, mulai dari riset, komputasi, dan aplikasi. Saya memastikan kami tetap sejalan dan terintegrasi di berbagai area,” Altman menambahkan.
Lebih lanjut, Altman menekankan visi awal OpenAI yang berperan sebagai lab riset dengan misi memastikan kecerdasan buatan umum (Artificial General Intelligence/AGI) mendatangkan manfaat bagi semua orang.
Menurutnya, dalam 2,5 tahun terakhir, OpenAI mulai melakukan dua peran tambahan yang signifikan. Pertama, OpenAI menjadi perusahaan produk global melalui layanan populer ChatGPT yang melayani ratusan juta masyarakat di seluruh dunia dan terus bertumbuh pesat.
Kedua, belakangan OpenAI juga mulai menjelma menjadi perusahaan infrastruktur yang membangun sistem untuk membantu riset mendalam dan penyaluran tool AI berskala besar.
Pekan ini, OpenAI juga mengumumkan rencana baru untuk menonjolkan induk nirlaba (non-profit) yang mengontrol bisnis laba mereka (for-profit).
“Setiap upaya besar ini bisa menjadi perusahaan besar yang berdiri sendiri. Kami sangat beruntung bisa menjalankan semuanya sekaligus dan membawa pemimpin-pemimpin hebat sebagai kuncinya,” kata Altman.
Hal ini yang menjadi alasan OpenAI menunjuk Fidji Simo sebagai CEO of Applications. Dengan begitu, produk-produk konsumen OpenAI bisa memiliki pemimpin sendiri yang fokus mengembangkan layanan, tetapi tetap memberikan laporan ke Altman.
“Aplikasi menyatukan sekelompok tim bisnis dan operasional yang ada dan bertanggung jawab atas bagaimana penelitian kami menjangkau dan memberi manfaat bagi dunia. Fidji memiliki kualifikasi unik untuk memimpin kelompok ini,” Altman menuturkan.
Fidji Simo diketahui bertugas sebagai anggota dewan OpenAI selama setahun terakhir. Altman menilai Fidji Simo telah memberikan kontribusi besar bagi perusahaan dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan.
“Ia akan beralih dari perannya di Instacart selama beberapa bulan ke depan dan bergabung dengan OpenAI akhir tahun ini,” ujar Altman.
Dalam jabatan barunya, Fidji dikatakan akan fokus menjalankan fungsi tradisional perusahaan, yakni meningkatkan skala OpenAI ke fase pertumbuhan selanjutnya.
“Saya akan terlibat secara dekat dalam keputusan-keputusan perusahaan,” kata Altman.
“Fidji membawa ramuan langka yang menggabungkan keahlian dalam kepemimpinan, produk, operasional, serta komitmen nyata untuk memastikan teknologi kami bermanfaat bagi semua orang,” ia menambahkan.
Untuk mendukung Fidji Simo dan tim Applications, Altman akan lebih fkus pada riset, komputasi, dan sistem keamanan.
“Bergabung dengan OpenAI di momen penting ini merupakan kemewahan dan tanggung jawab besar. Perusahaan ini berpotensi mengakselerasi potensi manusia dengan kecepatan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Saya berkomitmen untuk membentuk aplikasi-aplikasi ini bagi kepentingan semua orang,” kata Fidji Simo dalam keterangan resminya.
“Jadi Pak Presiden, pemerintah, betul-betul resah,” kata Prasetyo, ketika ditanya terkait Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakat (Ormas), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (9/5/2025).
Pasalnya aksi premanisme yang dibungkus melalui ormas ini sudah menciptakan keresahan. Juga tidak menciptakan iklim bisnis yang kondusif.
Alhasil, lanjut Prasetyo, Presiden sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk mencari jalan keluar terkait masalah ormas yang meresahkan. Ia menyebut salah satu upaya yang akan dilakukan seperti melakukan pembinaan kepada Ormas.
“Untuk mencari jalan keluar terhadap pembinaan terhadap teman-teman ormas supaya tidak mengganggu iklim perusahaan dan mengganggu keamanan, ketertiban, masyarakat,” katanya.
Namun, dia memastikan jika ditemukan pelaku yang melanggar aturan hukum agar segera ditindak.
“Kalau memang ditemukan tindak-tindak pidana ya sanksi, kan begitu. Kalau sampai tingkat tindak pidana ya dianggap itu sudah tidak ditoleransi, ya tidak menutup kemungkinan juga. kan kita harus evaluasikan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan, upaya kongkret yang akan dilakukan pemerintah untuk menindak tegas perlikau premanisme dan aktivitas ormas yang meresahkan masyarakat.
“Kami akan segera membentuk Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Ormas serta melakukan pembinaan terhadap ormas-ormas bermasalah yang mengganggu keamanan dan menghambat investasi. Satgas ini akan melibatkan TNI, Polri, dan seluruh instansi terkait dalam satu komando yang terpadu dan responsif,” jelas dia, dalam keterangan.
Sebelumnya, sejumlah pengusaha mengaku resah karena tindakan premanisme ormas seperti meminta Tunjangan Hari Raya (THR) hingga jatah proyek. Mereka adalah Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Banten Syaiful Bahri, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarief, hingga Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Banten Syaiful Bahri.
Harga tiket pesawat penerbangan internasional dibanderol lebih murah dibandingkan harga tiket domestik. Misalnya harga tiket pesawat rute Jakarta-Seoul yang di kisaran Rp3 juta, lebih murah dibandingkan Jakarta-Sentani (Papua) yang sudah tembus Rp4-5 juta. Padahal keduanya memiliki fasilitas yang sama, seperti batas maksimal kapasitas bagasi 20 kg dan kabin 7kg.
Bahkan jika hanya membeli tiket tanpa bagasi, harga tiket pesawat Jakarta-Seoul ada yang dibanderol di bawah Rp2 juta, atau sekitar Rp1,9 juta. Pemerintah pun menyadari adanya gap harga tiket pesawat tersebut.
“Harga tiket pesawat kenapa ke luar lebih murah, salah satunya adalah karena tidak adanya PPN,” kata Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi menjawab pertanyaan CNBC Indonesia dalam diskusi dengan media, dikutip Jumat (9/5/2025).
Padahal dengan harga tiket domestik lebih murah maka potensi wisata di daerah bisa terangkat sehingga perekonomian lebih hidup. Namun, Dudy juga mempertimbangkan faktor lain yakni PPN tiket pesawat juga menjadi pendapatan besar bagi negara.
“Jadi, saya juga harus mempertimbangkan kondisi keuangan dari negara, apakah memungkinkan kita membebaskan PPN atau menolkan PPN, karena undang-undangnya mengatakan harus ada PPN. Jadi, kalau itu (PPN) bisa dikurangi atau dibebaskan, harapannya bahwa pasar domestik kita bisa hidup,” katanya.
“Kemudian seperti Singapura-Jakarta. Ada isitilahnya di penerbangan itu double uplift ya. Mereka isi bensinnya tidak di Indonesia, isi bensinnya di Singapura. Jadi, harga avturnya, harga di sana (lebih murah). Itu praktik yang biasanya terjadi,” katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa pemerintah telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Dalam RUPTL ini, pemerintah telah mengakomodasi target penambahan energi baru dan terbarukan.
“Melalui program energi terbarukan dan efisiensi energi, kita bisa menurunkan emisi GRK sebesar 51%, dan dari efisiensi energi saja kita bisa menurunkan lebih dari 37%,” kata Eniya dalam acara Endress+Hauser Indonesia, Sustainability Recognition Forum 2025, dikutip Jumat (9/5/2025).
Oleh karena itu, pihaknya mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengikuti komitmen tersebut. Pasanya, target Indonesia pada 2030 adalah menurunkan emisi sebesar 358 juta ton CO2.
“Dalam peta jalan menuju net zero, seperti yang disampaikan oleh pembicara sebelumnya, kami mendukung konsep free carbon energi, termasuk hidrogen, amonia, dan proyek nuklir baru yang akan menjadi bagian dari sistem kelistrikan nasional,” kata dia.
Menurut Eniya, meskipun data emisi GRK yang ada masih dari tahun 2022 dan masih menunjukkan peningkatan, namun dalam lima tahun ke depan hingga 2030 adalah periode krusial untuk memastikan tren emisi mulai menurun.
“Indonesia memiliki semua sumber energi batu bara, gas, dan berbagai jenis energi terbarukan. Strategi kita sekarang adalah bagaimana mengelola semua sumber itu secara terpadu untuk menurunkan emisi,” ujar Eniya.
Selain itu, pemerintah saat ini juga tengah mengkaji pelaksanaan program mandatori bioetanol dan bioavtur setelah sukses menjalankan mandatori biodiesel 40% atau B40.
“Kami juga memasukkan energi nuklir ke dalam sistem kelistrikan. Fokus besar berikutnya adalah bagaimana hidrogen dan amonia dapat berkontribusi terhadap sistem energi bebas karbon,” katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, pihaknya sedang membahas dan menyiapkan regulasi terkait dengan PLTN ini.
“Kami sedang menyiapkan regulasi dan melakukan pembahasan dengan banyak negara tentang perencanaan kami untuk pembangkit listrik tenaga nuklir 500 MW,” jelasnya dalam Sustainability Recognition Forum 2025, di Jakarta, dikutip Jumat (9/5/2025).
Kelak, kata Eniya, rencana pengembangan pembangkit nuklir ini akan masuk ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru yang akan berlaku 10 tahun 2025-2034 mendatang.
“Dan, di yang berikutnya, kami juga akan memasang RUPTL baru berikutnya yaitu nuklir di jaringan listrik,” paparnya.
Sebelumnya, pemerintah juga menargetkan PLTN pertama di Indonesia dapat beroperasi dalam waktu 10 tahun ke depan. Hal tersebut menyusul landasan untuk pengembangan PLTN yang sudah cukup kuat di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa pada periode 2030-2034, PLTN komersial pertama Indonesia diharapkan sudah memasuki tahap commissioning dan beroperasi.
“Sehingga dalam durasi 10 tahun ke depan diharapkan bahwa kita bisa membangun dan mengoperasikan untuk PLTN yang pertama. Demikian juga ekspansi di tahun-tahun berikutnya,” ujarnya dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (30/4/2025).
Di samping itu, dalam kebijakan energi nasional yang baru, posisi energi nuklir juga tidak lagi disebut sebagai opsi terakhir sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014.
Adapun, dalam Rancangan Umum Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang baru, energi nuklir akan ditempatkan setara dengan energi baru dan terbarukan lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencapai target dekarbonisasi.
“Nah sekarang di dalam draft kebijakan yang baru, penggunaan yang baru atau nuklir untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi. Jadi jelas ini tingkatannya sama dengan energi terbarukan dan energi baru yang lain. Kalau bila kita lihat lebih detail dari RPP KEN tersebut, di sana sudah ada angka untuk yang terkait dengan roadmapnya,” katanya.
Menurut Dadan, dalam rencana kebijakan energi nasional, kapasitas PLTN ditargetkan dapat mencapai 250 MW pada 2030 kemudian naik hingga 45-54 GW pada 2060. Berdasarkan riset dari BRIN, setidaknya ada beberapa lokasi potensial untuk pembangunan PLTN, seperti di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah.
“Sulawesi juga mempunyai potensi yang sangat baik terkait dengan potensi uraniumnya. Jadi kemudian yang terkait dengan RUKN, sedikit update Pak Pimpinan, bahwa di dalam RUKN pun di sini sudah masuk untuk tahun operasional komersial pertama, ini bahkan tahunnya adalah lebih cepat, tahun 2032. Dengan pangsa kapasitas terpasang di 2060, sekitar 7% dengan produksi listrik 276 TWh,” kata dia.